Liburan, Tapi Tidak dengan Hati



Lebih dari sepekan saya berada di rumah untuk menikmati liburan akademik yang diberikan kampus. Selama itu pula, saya bersenang-senang dan banyak mengobrol bersama keluarga. Bahkan karena saking bosannya, saya akhirnya memutuskan untuk mencari hobi baru. Misalnya saja dengan bermain game online.

Timbulnya sensitivitas pada hati
Awal-awal liburan, saya melampiaskan kepenatan selama kuliah dengan banyak beristirahat. Namun belakangan ini, saya justru mulai gelisah. Saya merasa bahwa liburan kali ini, secara fisik saya memang sedang beristirahat dan memulihkan performa kembali. Tetapi tidak dengan hati saya.

Dahulu, saya adalah orang yang tidak mempersoalkan perkara hati manusia. Saya bahkan menganggap bahwa orang yang terlalu memikirkan hati adalah orang yang berlebihan. Menurut saya, tiap orang pasti punya masalah dan begitupun dengan saya. Jadi agaknya kurang logis jika hanya orang-orang tertentu saja yang hatinya merasa gelisah ketika ada masalah.

Ketika kita membahas hati dalam persepektif agama, maka landasan yang paling sering disampaikan adalah QS. Al Anfal ayat 2. Yaitu, orang-orang yang beriman ialah apabila disebut nama Allah, maka bergetarlah hatinya.[1]

Namun, penjelasan di atas akan relevan bila dilihat dari konteks hubungan hamba dan Tuhannya. Dan saya rasa hampir semua orang bersepakat bahwa sudah selayaknya ketika kita mendengar nama Allah disebut, maka hati kita akan bergetar. Nah, dalam tulisan yang saya akan sampaikan ini adalah bagaimana kita bisa melihat hati dari konteks hubungan manusia dan manusia.

Perkara hati manusia
Saya sangat penasaran dengan perkara hati sesama manusia, sehingga saya lakukan penelusuran di situs keislaman populer di Indonesia. Penjelasannya menarik, karena tidak dimulai dengan sebuah dalil. Tulisan yang saya baca itu menyebutkan tentang suatu ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah, tapi sedikit wujudnya di tengah-tengah manusia. [2]

Dialah, "Hati yang Bening".

  1. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan, “Setiap kali aku melewati rumah seorang muslim yang megah, saya mendoakannya agar diberkahi”.
  2. Sebagian lagi berkata, “Setiapkali kulihat kenikmatan pada seorang Muslim (mobil, proyek, pabrik, istri shalihah, keturunan yang baik), saya mendoakan: ‘Ya Allah, jadikanlah kenikmatan itu penolong baginya untuk taat kepada-Mu dan berikanlah keberkahan kepadanya’”.
  3. Ada lagi yang mengatakan, “Setiapkali aku berpapasan dengan pelaku maksiat, kudoakan dia agar mendapat hidayah”.
  4. Yang lainnya lagi mengatakan: “Setiapkali hendak tidur, aku berdoa: ‘Ya Rabb-ku, siapapun dari kaum Muslimin yang berbuat zalim kepadaku, sungguh aku telah memaafkannya. Oleh karena itu, maafkanlah dia, karena diriku terlalu hina untuk menjadi sebab disiksanya seorang muslim di neraka’”.

Itulah hati yang bening. Hati yang selayaknya menjadi dambaan seorang mukmin.

Bukankah dari kita pasti pernah merasa dizalimi?

Misalnya saja saat kita kecil. Kita melihat teman-teman sebaya sedang bermain kasti di lapangan kompleks. Awalnya kita duduk dan melihat pertandingan mereka dari pinggir lapangan. Nah, dalam permainan itu pasti ada yang sudah sangat jago sehingga kita akan ikut antusias menyaksikannya. Ada yang larinya cepat, ada yang tangkapannya akurat, maupun pukulan kastinya yang jauh melesat cepat.

Dua reaksi berbeda
Lalu muncullah dorongan untuk ikut bermain bersama mereka. Mungkin kita akan canggung, karena asalnya kita adalah anak rumahan yang jarang main keluar dan kini mencoba bermain dengan anak-anak lain yang sudah jago. Reaksi yang kita dapat biasanya ada 2. 

Pertama, ada teman-teman yang dengan baik hati mengajak kita bermain, mengajarkan cara bermainnya, dan tetap memberikan semangat meski kita sering salah di awal permainan. Bahkan mereka rela permainannya terganggu karena ada pemain baru yang masih tertatih.

Kedua, ada teman-teman yang yang kurang senang apabila kita ikut bermain. Karena waktu mereka akan banyak terbuang dengan kesalahan yang kita lakukan. Atau bahkan tidak senang bila kita se-tim dengan mereka karena lari kita yang tidak cepat, tangkapan kita yang tidak akurat, ataupun pukulan kita yang tidak melesat cepat. Lalu saat permainan kasti selanjutnya, mereka tidak mau lagi mengajak kita. Kehadiran kita dianggap mengurangi semangat mereka dalam bermain yang sudah terbangun sejak lama.

Kita pasti akan bersedih hati.

Kita akan dihadapkan dua pilihan reaksi. (1) Bersikap dewasa dan bersabar, atau (2) justru memaki teman-teman kita diikuti dengan memusuhi mereka dan tidak pernah lagi bermain dengan mereka.

Perumpaan di atas mungkin masalah yang kecil bagi orang di usia kita sekarang. Tapi bagi mereka yang saat itu mengalaminya di usianya, tentu hal ini adalah masalah yang besar. Ada pesan yang tersirat, bahwa hendaknya kita menilai masalah yang dihadapi seseorang itu bukan dari standar kita. Kita harus fair untuk menilai beratnya masalah seseorang sesuai dengan standar orang tersebut.

Pilihan yang bijak
Maka, pilihan yang bijak tentu bersikap sabar. Karena di antara teman-teman kita di atas, masih ada yang tipe pertama. Kalau kita memutuskan untuk berhenti dan mulai membeci mereka, maka sama saja kita telah meremehkan kebaikan yang teman-teman tipe pertama berikan kepada kita. Itulah kenapa pada kondisi seperti ini, kita membutuhkan "Hati yang Bening".

Suatu malam, Al Hasan Al Bashri berdo’a, “Ya Allah, maafkanlah siapa saja yang menzalimiku”… dan ia terus memperbanyak do’a itu!

Maka ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Sai’d (Al Hasan Al Bashri), sungguh malam ini aku mendengar engkau berdoa untuk kebaikan orang yang menzalimimu, sehingga aku berangan-angan, andai saja aku termasuk orang yang menzalimimu, maka apakah yang membuatmu melakukannya?”.

Beliau menjawab: “Firman Allah:

ﻓَﻤَﻦْ ﻋَﻔَﺎ ﻭَﺃَﺻْﻠَﺢَ ﻓَﺄَﺟْﺮُﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ

“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya kembali kepada Allah’”. (QS. Asy-Syuuro: 40)

(lihat kisah ini pada kitab Syarah Shohih Bukhori, karya Ibnu Baththol, 6/575-576). [2]

Doa yang ada pada poin no. 4 di atas pula yang akan mengantar tidur saya malam ini

Dan apa yang saya tulis hari ini sekaligus menjadi refleksi bagi saya bahwa kehidupan di dunia ini memang tidak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Ust. Hanan Attaki pernah menyampaikan, bahwa bila kita berharap pada makhluk, maka seringkali kita akan dikecewakan.

Hanya berharap
Maka berharaplah hanya kepada Allah, Sang Pemilik Hati sesungguhnya. Karena seperti yang kita tahu, Innallaha laa yukhliful mii'ad. Sesungguhnya Allah tidak pernah ingkar janji.

"Janganlah engkau bersedih meratapi kebaikanmu. Sebab jika di dunia ini tidak ada yang menghargainya, yakinlah bahwa di langit ada yang memberkahinya."

Selamat berlibur. Tidak hanya libur fisik, tapi juga libur hati.



Referensi
  1. http://m.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2014/12/09/34658/ada-empat-kondisi-hati-di-mana-posisi-kita.html
  2. https://muslim.or.id/26765-hati-yang-bening.html

Tidak ada komentar:

Berilah komentar yang bijaksana tanpa menyinggung perasaan orang lain.

Diberdayakan oleh Blogger.