Menolak Hari Kemenangan (Refleksi Idul Fitri)



Ramadhan bergulir cepat dan tak terasa akan segera terlewat. Sungguh keberuntungan yang besar bagi orang-orang yang melalui Ramadhan dan mendapati dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah. Sementara itu, sungguh sebuah kerugian bagi orang-orang yang Ramadhan telah meninggalkannya sedang dosanya masih belum diampuni Allah. Hal ini sudah tertera dalam hadits yang mana malaikat Jibril berdoa dan Nabi Muhammad mengaminkan sebanyak 3 kali.[1]

Menurut Ustadz Banu Muhammad, seseorang yang berpuasa itu ibarat kuda pacuan. Saat akan mencapai garis finish, maka kuda tersebut akan memacu dirinya berlari lebih kencang. Seperti itu pula gambaran seorang mukmin saat berada di penghujung bulan Ramadhan. Bahwasanya ibadah puasa Ramadhan ini bukanlah kompetisi lari sprint, melainkan lari marathon. Kualitas ibadah yang stabil dari hari ke hari dan semakin kuat intensitasnya mendekati akhir Ramadhan.

Tetapi, fenomena yang kita saksikan di masyarakat tidak demikian. Hal yang terjadi justru mendekati akhir Ramadhan terlihat shaf masjid semakin maju (karena jamaah semakin berkurang), dan mall atau pusat perbelanjaan lain semakin ramai. Mayoritas orang mulai terlupakan bahwa hakikat Ramadhan sebenarnya adalah sebuah kompetisi amal. Mereka yang tidak mampu bertahan seakan gugur lewat mekanisme seleksi alam.

Menurut Direktur Eksekutif Nielsen Company Indonesia, Yongky Susilo, dikutip dari situs CNN Indonesia, konsumsi rumah tangga lebaran tahun ini berpotensi lebih baik dari tahun lalu akibat kebijakan pemerintah yang memang ingin mendongkrak konsumsi masyarakat. Hal ini merupakan imbas bantuan sosial bagi masyarakat menengah ke bawah, yaitu Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang meningkat dari sebelumnya 6 juta per kepala keluarga (KK) menjadi 10 juta per KK.[2]

Data dari Kementerian Keuangan menyebut belanja sosial pemerintah hingga April 2018 mencapai Rp30,7 triliun. Nilai ini mencapai 57,3 persen dari pagu anggaran tahun ini. Konsumsi masyarakat diyakini masih dapat meningkat akibat kebijakan aturan Presiden Joko Widodo terkait Tunjangan Hari Raya (THR) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan. Jumlahnya mencapai Rp35,76 triliun dan menurut Kementerian Keuangan, peningkatan jumlah THR ini mencapai 69 persen.[2]

Tentu hal ini tidaklah mengherankan kita mengapa akhirnya pusat perbelanjaan menjadi lebih ramai daripada rumah Allah. Pola umumnya, kebiasaan masyarakat sudah seperti itu, kemudian ditambah lagi dengan dorongan pemasukan yang diberikan pemerintah.

Saat melihat kondisi seperti di atas, kita telah ditunjukkan betapa masyarakat sangat bersuka cita dalam menyambut datangnya Idul Fitri. Hari kemenangan bagi mereka yang telah sukses berpuasa sebulan penuh, bagi mereka yang berhasil menahan hawa nafsunya sepanjang siang di bulan Ramadhan, dan bagi mereka yang istiqomah menambah amalan sunnahnya hingga akhir Ramadhan.

Wajar jika kemudian hari itu disebut sebagai hari raya, karena semua orang tumpah ruah memenuhi lapangan dan masjid untuk mem-besar-kan nama Allah. Berkunjungan dari satu rumah ke rumah lainnya dalam suasana bahagia. Hal ini umum, dan sudah biasa.

Sadarkah kita bahwa di antara orang-orang yang sedang berbahagia itu, terdapat sejumlah orang yang bersedih. Mereka adalah orang-orang yang menangisi kepergian Ramadhan. Bukan karena khawatir dosa mereka tidak diampuni, tetapi karena rindu tak tergantikan selama Ramadhan. Mereka adalah orang-orang yang begitu cinta dengan Ramadhan, sehingga ikatan mereka begitu kuat dengan Ramadhan. Perpisahan antara keduanya terasa sulit. Ramadhan adalah bulan dimana pahala amal dilipatgandakan, ketika tidur pun bernilai ibadah, dan satu-satunya bulan dengan kemulian salah satu malamnya yang senilai seribu bulan.

Maka mereka inilah orang-orang yang menolak hari kemenangan. Merekalah orang-orang yang sedih ditinggal Ramadhan, saat orang lain bergembira menyambut datangnya syawal. Kita boleh bersepakat bahwa merekalah orang-orang yang sesungguhnya mencapai kemenangan. Menang atas kecintaannya pada Ramadhan, lebih dari rasa cinta terbatas yang kita berikan pada Ramadhan.

Memang terkadang, kita tidak perlu begitu gembira menyambut datangnya suatu hal.

Namun kita seringkali sedih saat akan meninggalkan suatu hal. Terutama, apabila hal itu adalah sesuatu yang sangat kita cintai.


Dari saya yang berharap sedih ditinggal Ramadhan,
Afid Brilliana Putra


Referensi
  1. Penulis kitab Nadhratun Na’îm (10/5014) berkata : Hadits ini dikeluarkan al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (4/154) dan berkata: hadits ini shahîh sanadnya, namun imam al-Bukhâri dan Muslim tidak mengeluarkannya. Imam adz-Dzahabi menyetujui hal ini. (Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb). Available from: https://almanhaj.or.id/3953-meraih-ampunan-allah-al-ghafur-di-bulan-ramadhan-yang-mulia.html
  2. Gumelar G. Tatapan Dunia Usaha Kian Penuh Harap Jelang Lebaran. CNN Indonesia [Internet]. 2018 May 30; Available from: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180530105233-92-302159/tatapan-dunia-usaha-kian-penuh-harap-jelang-lebaran

Tidak ada komentar:

Berilah komentar yang bijaksana tanpa menyinggung perasaan orang lain.

Diberdayakan oleh Blogger.